“ Farhan apa kamu
baik-baik saja ?”. Tanya wanita itu memastikan.
“ Ia buk, farhan
baik-baik saja”. Jawabnya berupaya menenangkan diri.
Suhu ruangan itu ia
rasakan sangat panas. Baru kali ini ia merasa sangat kepanasan. Dia sudah mulai
merasa gerah. Wajah dan seluruh tubuhnya basah oleh Keringat. Ia sebenarnya
gugub. Perasaan ragu menggelayut dipikirannya. Namun ia berupaya untuk tetap
bersikap tenang.
Tak lama kemudian lensa
kacamatanya juga ikut tertutup keringat. Ia tidak bisa melihat dengan jelas
angka-angka yang berbaris apik, dan terkadang menari-nari di hadapannya.
Kacamatanya segera ia lap dengan kain
pengelap yang ia simpan disaku celana.
Secarik kapur ia pegang
dengan tangan kanan. Ia memegangnya dengan erat dan penuh kehati-hatian. Kapur
itu tak ubahnya seperti bongkahan batu besar dari bukit kapur yang cukup berat
untuk diangkat. Dia bukan atlet angkat besi. Tenaganya terbatas. Apalagi untuk
lelaki yang baru berumur 16 tahun. Ia mengalami kesulitan memegangnya. Terkadang
ia harus memegang kapur itu dengan kedua
tangannya. Ia harus pastikan kapur itu jangan sampai jatuh. Kalau sampai kapur
itu terjatuh bisa saja bongkahan batu besar itu menginjak kakinya sampai
berdarah-darah.
Warna hitam papan tulis
dihadapannya membawanya berdiri di atas bukit kapur yang gelap tanpa sedikitpun
cahaya menyinari. Gelap, sunyi, senyap, pekap. Ia tidak tahu kemana arah
melangkah. Kakinya gemetaran setiap kali memulai. Ia khawatir, satu langkah
saja salah maka ia akan terjatuh ke dalam jurang bukit kapur. Ia perlu
perhitungan sebelum mulai melangkah.
Sesekali ia melihat ke
belakang. Tampak teman-temannya sedang dalam posisi berbaris berjejer dari
depan ke belakang. Mereka sedang dalam posisi siaga. Siap untuk mengambil
ancang-ancang. Tinggal menunggu tiupan peluit pada lomba pacu lari. Ia merasa
akan dikeroyok bersama-sama kalau tidak mampu menyelesaikan soal itu dengan
baik.
Terkadang ia mencuri
pandang wanita berkacamata minus yang berdiri dekat pintu. Ia merasa wanita
yang biasa dipanggil ibu guru menatapnya dengan tajam dan sinis. Wanita itu
memegang pedang samurai dilengan kiri yang sewaktu-waktu siap ditebaskan
kebatang lehernya. Meskipun sebenarnya kecantikan wajah dan keanggunan jilbab
lebar yang dipakai perempuan itu tidak bisa diibaratkan seperti tokoh kartun ninja hattori.
Sejak wanita itu menyebut namanya sepuluh menit yang lalu, ia
harus menjadi pesakitan dalam posisi berdiri. Ia tidak menyalahkan siapa-siapa.
Panggilan namanya laksana menunggu tiupan terompet dari malaikat izrafil. Cepat
atau lambat namanya pasti akan terpanggil. Hanya saja ia benar-benar belum
siap. Ia perlu waktu untuk itu semua. Meskipun ia tidak tahu seberapa banyak
waktu yang ia butuhkan. Kalau bisa memilih maka ia lebih memilih menceburkan
diri ke laut daripada berkhayal menulis di bukit kapur.
Tenaganya sudah cukup
terkuras untuk sekedar berdiri dari bangku dan melangkah perlahan ke depan
kelas. Namun ia mencoba terus mengumpulkan tenaganya yang tersisa.
“ Farhan kalau kamu
tidak bisa mengerjakan soal tersebut kamu boleh duduk?”.Wanita itu menawarkan,
sambil menodongkan pedang samurai kehadapannya.
“ Ia buk, farhan Insya
Allah bisa mengerjakannya ”. Jawab Farhan tegang.
Ia merasa bisa
mengerjakan soal tersebut. Soal itu sebenarnya adalah soal untuk kelas VII SMP.
Ibuk Ratna meminta untuk dikerjakan sekedar mengingatkan saja dengan pelajaran
tentang bangun ruang. Ia hanya perlu menentukan volume limas. Sementara ukuran
dan gambarnya sudah dibuatkan oleh ibuk Ratna dengan bantuan penggaris dari papan
yang memiliki panjang satu meter itu.
Entah apa yang menghalanginya sehingga tak mampu mengerjakan soal
tersebut.
Pandangannya tunduk ke
bawah. Terlalu berat sekedar mengangkat wajah untuk melihat soal matematika di
papan tulis. Ia pasrah. Hatinya galau tak karuan. Ia kecewa pada dirinya
sendiri. Sudah hampir lima belas menit ia berdiri di papan tulis, namun belum
ada satupun yang ia tulis. Tak lama kemudian air matanya menetes di pipi. Ia
berusaha tegar, namun buliran air matanya tetap saja membasahi pipinya.
“ Ya Allah berilah
hamba jalan keluar dari persoalan ini.” Lirihnya di dalam hati.
Kemudian Ia mulai
mengatur kosentrasinya. Ia berusaha untuk fokus terhadap soal di depannya. Tak
peduli dengan ancaman perempuan itu dengan sabetan pedang. Tak peduli dengan
orang-orang yang dibelakang yang siap menghadang. Ia merasa mendapatkan energi beratus bahkan
beribu kilo joule.
Kapur yang sejak tadi
berada di tangan kanannya ia pegang dengan sekuat tenaga. Tangan kirinya
mengepal bergetar. Dahinya mulai berkerut, berlipat-lipat. Gigi gerahamanya
berdekak-dekak. Nafasnya terengah-engah. Ia tatap lamat-lamat setiap rangkaian
kombinasi gambar, huruf dan angka di papan tulis itu. Matanya melotot tajam.
Hatinya membara, dadanya membuncah.
Pandangannya ia arahkan
ke langit-langit.
“Aku harus bisaaa aaa”,
teriaknya dengan cukup keras.
Teriaknya menggaung,
menghantam ke empat penjuru dinding-dinding kelas X.1. Tergaget, mengejutkan
semua orang dalam ruangan itu.
Tiba-tiba “Krak” ,
Kapur yang ia pegang sejak tadi patah dua. Ujungnya terjatuh berpantulan di
atas lantai.
Tak ada yang
mempedulikan terhadap kapur yang baru saja terserak. Semua pandangan tertuju
kepada Farhan. Semua orang di dalam ruangan, bagaikan tersengat listrik ratusan
volt, kaku hening membisu. Ada yang menggigit jarinya, adapula yang mulutnya
menganga. Mungkin tak ada yang membayangkan semua ini terjadi.
Tiba-tiba lantai yang
ia pijaki berubah menjadi tebing yang tinggi. Ia segera memegang papan tulis
dihadapannya yang mendadak berubah menjadi cadas pegunungan kaukasus.
Teriakannya telah menyedot seluruh energi yang ia miliki. Tubuhnya lemah
lunglai. Mata yang sejak tadi melotot, menjadi sayu gemulai. Penglihatannya
mulai berkunang-kunang. farhan tidak kuasa mengatur keseimbangannya. Tak lama
kemudian ia pingsan tak sadarkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar