Rabu, 08 Agustus 2012

Laksana Menulis di Bukit Kapur


 “ Farhan apa kamu baik-baik saja ?”. Tanya wanita itu memastikan.
“ Ia buk, farhan baik-baik saja”. Jawabnya berupaya menenangkan diri.
Suhu ruangan itu ia rasakan sangat panas. Baru kali ini ia merasa sangat kepanasan. Dia sudah mulai merasa gerah. Wajah dan seluruh tubuhnya basah oleh Keringat. Ia sebenarnya gugub. Perasaan ragu menggelayut dipikirannya. Namun ia berupaya untuk tetap bersikap tenang.
Tak lama kemudian lensa kacamatanya juga ikut tertutup keringat. Ia tidak bisa melihat dengan jelas angka-angka yang berbaris apik, dan terkadang menari-nari di hadapannya. Kacamatanya  segera ia lap dengan kain pengelap yang ia simpan disaku celana.
Secarik kapur ia pegang dengan tangan kanan. Ia memegangnya dengan erat dan penuh kehati-hatian. Kapur itu tak ubahnya seperti bongkahan batu besar dari bukit kapur yang cukup berat untuk diangkat. Dia bukan atlet angkat besi. Tenaganya terbatas. Apalagi untuk lelaki yang baru berumur 16 tahun. Ia mengalami kesulitan memegangnya. Terkadang ia harus memegang  kapur itu dengan kedua tangannya. Ia harus pastikan kapur itu jangan sampai jatuh. Kalau sampai kapur itu terjatuh bisa saja bongkahan batu besar itu menginjak kakinya sampai berdarah-darah.
Warna hitam papan tulis dihadapannya membawanya berdiri di atas bukit kapur yang gelap tanpa sedikitpun cahaya menyinari. Gelap, sunyi, senyap, pekap. Ia tidak tahu kemana arah melangkah. Kakinya gemetaran setiap kali memulai. Ia khawatir, satu langkah saja salah maka ia akan terjatuh ke dalam jurang bukit kapur. Ia perlu perhitungan sebelum mulai melangkah.
Sesekali ia melihat ke belakang. Tampak teman-temannya sedang dalam posisi berbaris berjejer dari depan ke belakang. Mereka sedang dalam posisi siaga. Siap untuk mengambil ancang-ancang. Tinggal menunggu tiupan peluit pada lomba pacu lari. Ia merasa akan dikeroyok bersama-sama kalau tidak mampu menyelesaikan soal itu dengan baik.
Terkadang ia mencuri pandang wanita berkacamata minus yang berdiri dekat pintu. Ia merasa wanita yang biasa dipanggil ibu guru menatapnya dengan tajam dan sinis. Wanita itu memegang pedang samurai dilengan kiri yang sewaktu-waktu siap ditebaskan kebatang lehernya. Meskipun sebenarnya kecantikan wajah dan keanggunan jilbab lebar yang dipakai perempuan itu tidak bisa diibaratkan seperti  tokoh kartun ninja hattori.
Sejak wanita itu  menyebut namanya sepuluh menit yang lalu, ia harus menjadi pesakitan dalam posisi berdiri. Ia tidak menyalahkan siapa-siapa. Panggilan namanya laksana menunggu tiupan terompet dari malaikat izrafil. Cepat atau lambat namanya pasti akan terpanggil. Hanya saja ia benar-benar belum siap. Ia perlu waktu untuk itu semua. Meskipun ia tidak tahu seberapa banyak waktu yang ia butuhkan. Kalau bisa memilih maka ia lebih memilih menceburkan diri ke laut daripada berkhayal menulis di bukit kapur.
Tenaganya sudah cukup terkuras untuk sekedar berdiri dari bangku dan melangkah perlahan ke depan kelas. Namun ia mencoba terus mengumpulkan tenaganya yang tersisa.  
“ Farhan kalau kamu tidak bisa mengerjakan soal tersebut kamu boleh duduk?”.Wanita itu menawarkan, sambil menodongkan pedang samurai kehadapannya.
“ Ia buk, farhan Insya Allah bisa mengerjakannya ”. Jawab Farhan tegang.
Ia merasa bisa mengerjakan soal tersebut. Soal itu sebenarnya adalah soal untuk kelas VII SMP. Ibuk Ratna meminta untuk dikerjakan sekedar mengingatkan saja dengan pelajaran tentang bangun ruang. Ia hanya perlu menentukan volume limas. Sementara ukuran dan gambarnya sudah dibuatkan oleh ibuk Ratna dengan bantuan penggaris dari papan yang memiliki panjang satu meter itu.  Entah apa yang menghalanginya sehingga tak mampu mengerjakan soal tersebut.
Pandangannya tunduk ke bawah. Terlalu berat sekedar mengangkat wajah untuk melihat soal matematika di papan tulis. Ia pasrah. Hatinya galau tak karuan. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Sudah hampir lima belas menit ia berdiri di papan tulis, namun belum ada satupun yang ia tulis. Tak lama kemudian air matanya menetes di pipi. Ia berusaha tegar, namun buliran air matanya tetap saja membasahi pipinya.
“ Ya Allah berilah hamba jalan keluar dari persoalan ini.” Lirihnya di dalam hati.
Kemudian Ia mulai mengatur kosentrasinya. Ia berusaha untuk fokus terhadap soal di depannya. Tak peduli dengan ancaman perempuan itu dengan sabetan pedang. Tak peduli dengan orang-orang yang dibelakang yang siap menghadang.  Ia merasa mendapatkan energi beratus bahkan beribu kilo joule.
Kapur yang sejak tadi berada di tangan kanannya ia pegang dengan sekuat tenaga. Tangan kirinya mengepal bergetar. Dahinya mulai berkerut, berlipat-lipat. Gigi gerahamanya berdekak-dekak. Nafasnya terengah-engah. Ia tatap lamat-lamat setiap rangkaian kombinasi gambar, huruf dan angka di papan tulis itu. Matanya melotot tajam. Hatinya membara, dadanya membuncah.
Pandangannya ia arahkan ke langit-langit.
“Aku harus bisaaa aaa”, teriaknya dengan cukup keras.
Teriaknya menggaung, menghantam ke empat penjuru dinding-dinding kelas X.1. Tergaget, mengejutkan semua orang dalam ruangan itu.
Tiba-tiba “Krak” , Kapur yang ia pegang sejak tadi patah dua. Ujungnya terjatuh berpantulan di atas lantai.
Tak ada yang mempedulikan terhadap kapur yang baru saja terserak. Semua pandangan tertuju kepada Farhan. Semua orang di dalam ruangan, bagaikan tersengat listrik ratusan volt, kaku hening membisu. Ada yang menggigit jarinya, adapula yang mulutnya menganga. Mungkin tak ada yang membayangkan semua ini terjadi.
Tiba-tiba lantai yang ia pijaki berubah menjadi tebing yang tinggi. Ia segera memegang papan tulis dihadapannya yang mendadak berubah menjadi cadas pegunungan kaukasus. Teriakannya telah menyedot seluruh energi yang ia miliki. Tubuhnya lemah lunglai. Mata yang sejak tadi melotot, menjadi sayu gemulai. Penglihatannya mulai berkunang-kunang. farhan tidak kuasa mengatur keseimbangannya. Tak lama kemudian ia pingsan tak sadarkan diri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar